Minggu, 15 September 2013

Random

Ketika kamu tahu ada yang salah, dan hany berani mengeluh, berkomentar, tanpa bwrbuat apa-apa.
You are sucks, apabila sampai saat ini kamu masih berpikir kalau Indonesia itu payah dan gak ada apa-apanya dibanding dengan negara lain.
Karena ketika kamu berpikir seperti itu, yang terjadi sebenarnya adalah, Indonesia hanya terlihat payah karena terlalu banyak orang payah seperti kamu yang tidak malu karena hanya bisa bilang Indonesia payah tanpa tau apa-apa dan tidak berbuat apa-apa untuk negaranya sendiri.
Itu lebih payah..
Demikian refleksi untuk malam ini..

Sabtu, 14 September 2013

Waktu Indonesia Timur

Kemarin tanggal 14 september, semua teman-teman di socmed ramai dengan update mereka tentang sail komodo. Terlebih yang bisa ikut langsung menyaksikan event teresebut di Labuan Bajo, ada kebanggaan tersendiri bisa mengikuti event yang bisa dibilang merupakan langkah awal kebangkitan pariwisata NTT itu.
Agak sedikit iri sebenarnya kemarin melihat semuanya update tentang acara itu, karena aku sendiri tidak bisa datang karena sedang berada di Jogja dan tidak punya uang untuk berangkat kesana.
Tetapi semuanya terobati ketika seorang teman mengirimkan sms, memberitahukan tentang acara anak ISI ( Institut Seni Indonesia) bertemakan seni dan budaya timur yang diadakan oleh Ikatan Keluarga Mahasiswa Timur ISI Yogyakarta.
Judul acaranya adalah Waktu Indonesia Timur. Satu hal yang menurut aku lumayan kreatif adalah waktu dimulainya pagelaran. Dalam pesan singkat yang dikirim temanku, dibilang kalau acara akan dimulai pada jam 7 malam. Karena ingin menonton dari awal, aku berangkat jam 6 sehingga bisa sampai disana jam setengah 7. Jadi, aku msh punya banyak waktu untuk mencari posisi duduk paling pas untuk menonton acara ini.
Namun ditengah perjalanan, ada satu dan lain hal yang membuat aku dan pacarku terlambat sampai satu jam. Akhirnya kami sampai di TBY jam 8, dan untungnya baru saja open gate. Ternyata, acaranya dimulai pukul 19.00 wita, jadi di Jogja pukul 20.00. Cukup mengecoh sebenarnya. Aku tidak begitu memperhatikan judul acara yaitu Waktu Indonesia Timur. Hahaha
acara yang diadakan anak-anak ISI ini benar-benar bisa membalas rasa iri karena tidak bisa menyaksikan event sail komodo. Pagelaran seni dan budaya ini ternyata menggabungkan tiga bidang seni yaitu musik orkestra, teater, dan tari-tarian.
Dalam acara ini, jalan cerita teater semacam membawa penonton kepada acara-acara lain yakni tarian dan musik orkestra. Jadi, teater dalam acara ini bisa dikatakan bertindak semacam pemandu acara.
Pagelaran tadi malam merupakan acara puncak dari seluruh rangkaian kegiatan WIT. Dalam rangka merayakan ulang tahun mereka yang pertama.
Dari buku yang aku dapat ketika membeli tiket, dikatakan bahwa tema dari pertunjukan ini adalah "Karena Basodara Katong Semua Satu". Pertunjujan ini secara tidak langsung ingin menyampaikan pesan kepada para penonton bahwa orang timur tidak sejahat penampilan luar mereka yang terlihat seram, galak, dan semacamnya.
Aku sendiri melihat dari acara ini, bahwa Ikatan Keluarga Timur ISI lewat acara ini ingin memperbaiki citra mahasiswa timur yang identik dengan segalanya yang negatif. Dan aku setuju dengan ide mereka ini.
Menurut aku pribadi, dengan menampilkan kesenian-kesenian dari Timur, secara tidak langsung mereka juga menampilkan kepribadian orang timur. Budaya adalah representasi dari kepribadian si pemilik budaya. Tari-tarian dan lagu dari daerah rimur yang ditampiljan juga punya cerita dan maknanya sendiri yang secara tidak langsung tersirat kepribadian masyarakat timur didalamnya.
Mahasiswa timur sebagai pendatang di Jogja cinta damai. Mereka tidak pernah menginginkan konflik atau sejenisnya.
Aku sebagai seorang pendatang dari timur merasa bangga karena aku dari timur. Acara ini menurut aku juga ingin menegaskan tentang rasa persatuan meskipun berbeda suku dan budaya.
Untuk aku pribadi, semangat persatuan adalah salah satu bentuj cinta tanah air dan nasionalisme. Dengan merasakan adanya kesatuan, yaitu satu bangsa Indonesia, kita tidak mungkin bisa terpecah-pecah. Rasa persatuan yang aku maksudkan disini adalah, seperti rasa memiliki semua yang ada di Indonesia. Misalnya, aku adalah orang Indonesia dari daerah Timur. Aku datang dan bersekolah di Jogja. Meskipun aku bukan dari Jogja, tetapi batik, wayang, dan semua kesenian jawa adalah milik aku juga karena aku orang Indonesia, dan Jogjakarta adalah bagian dari Indonesia. Sama halnya dengan semua karya seni entah itu sabang sampai merauke, itu adalah milik kita, karena kita semua bangsa Indonesia. Maka sudah menjadi tugas kita bersama juga untuk teruz menjaga dan melestarikan semuanya yang menjadi milik kita ini. 
Janganlah mengkotak-kotakkan perbedaan. Itu adalah sumber kehancuran. Merasakan menjadi satu dalam perbedaan lebih indah ketimbang sibuk memilah-milah perbedaan. Seperti kata orang timur, "Karena Basodara Katong Semua Satu".

Sabtu, 17 Agustus 2013

Tentang 5cm

Hari ini aku ntn 5cm. Film ini ditayangkan oleh salah satu stasiun tv swasta dalam rangka perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 68.
Film ini pada awal peluncurannya mendapatkan respon yang sangat bagus. Berada si box office selama berminggu-minggu. Entah apa yang ditawarkan film ini, ceritanya, artisnya, atau pemandangan gunung semeru yang terkenal.
5cm sebenarnya adalah film yang diadaptasi dari sebuah novel best seller. Sang produser sangat pandai membaca kesempatan dan selera pasar dengan mengangkat novel ini ke layar lebar.
Cerita dari film ini secara garis besar adalah mengenai persahabatan dan bisa dibilang ada unsur cinta tanah air juga dalam ceritanya, hal ini bisa dilihat dari percakapan yang ada dalam film ini. Begitu banyak kata-kata pujian dan ungkapan kebanggaan yang muncul dari setiap pemeran yang seakan-akan dibuat otomatis terlontar karena sensasi pemandangan dari semeru yang menakjubkan.
Sudah menjadi tanggung jawab bagi setiap rumah produksi film yang membuat film adaptasi novel untuk memvisualisasikan isi novel sebaik dan seasli mungkin seperti isi novel yang diadaptasi. Seperti film ini, karena sebagian besar dari isi cerita ini bertempat di semeru, maka proses syuting juga harus bertempat disana.
5cm adalah novel dengan ide, dan setting tempat yang menarik. Dengan pesan mengenai persahabatan, hidup, dan Indonesia yang kaya. Sayangnya, yang menjadi masalah adalah proses penyampaian secara visual dalam hal ini proses syuting filmnya, mengalami banyak kritikan dari para pecinta alam, khususnya pecinta semeru.
Mereka kecewa karena proses syuting film ini malah sebaliknya melenceng dari tujuan dan isi novel. Alam semeru yang asri rusak akibat prises syuting ini. Karena penulis tidak begitu mengeri mengenai semeru, mungkin anda bisa googling sendiri mengenai pro dan kontra proses syuting film ini.
Bagaimana sampai prosesnya diklaim merusak alam semeru.
5cm punya pesan yang sangat bagus. Tapi mungkin akan lebih baik jika pesan itu tertulis dibuku. Biarkan para pembacanya memvisualisasikan sendiri isi novel itu.
Kegiatan mendaki gunung adalah kegiatan yang menyenangkan namun tidak mudah. Meskipun pada akhirnya akan terbayat dengan pemandangan indah dan menakjubkan yang mampu menitikkan air mata bangga, tapi ada perjuangan yang tidak mudah, serta tanggung jawab yang besar dalam prosesnya. Tanggung jawab untuk menikmati keindahan proses pendakian, dan ujung pendakian tanpa merusaknya. Dan tanggung jawab inilah yang diabaikan tim produksi film 5cm.
Biarkan keindahan semeru dinikmati oleh orang-orang yang mau berusaha keras dengan tanggung jawab untuk menjaganya.
Ibaratnya, keindahan hanya pantas dinikmati oleh orang-orang yang memang mau berusaha dan bertanggung jawab dalam usahanya. Seperti semeru, keindahan yang diberikan di ujungnya hamya pantas dinikmati oleh para pendaki-pendaki yang memang mengerti arti dari mendaki itu sendiri. Mendaki keindahan, dan menjaga keindahannya itu.
I LOVE INDONESIA
MERDEKA !!!!!!!

Senin, 05 Agustus 2013

Sail Komodo. Kebanggan sekaligus ancaman

Sail komodo. Event yang sedang berlangsung dan menarik minat begitu banyak pihak. Termasuk pihak asing.
Seperti namanya, isi dari kegiatan ini adalah berlayar. Para pesertanya diajak berlayar melihat kekayaan setiap daerah yang disinggahi hingga akhirnya mereka sampai di tempat terakhir yaitu labuan bajo.
Pemerintah selaku wakil rakyat turut mensupport kegiatan ini karena pariwisata merupakan salaj satu penyumbang dana bagi anggaran negara.
Senang sudah pasti, tapi kesal pun ada, melihat betapa kemarin ketika salah satu daerah di flores mengalami bencana gunung meletus, pemerintah semacam tidak peduli atau 'mungkin' lupa. Tapi sudahlah, yang berlalu biarkan berlalu. Saudara sebumi flobamora toh masih banyak yang mau perduli.
Kembali ke event ini, sebagai salah seorang putri NTT, penulis cukup bangga karena akhirnya khalayak bisa tau kalau Indonesia juga punya NTT, NTT masih bagian dari Indonesia, NTT juga salah satu penyumbang kekayaan budaya untuk Indonesia, dan slogan NTT bukanlah "sumber aer su dekat".
Event ini membuat orang-orang tau bahwa NTT tidak semiskin yang dibicarakan di berita-berita. Masyarakatnya masih memegang teguh budaya nenek moyang dan inilah kekayaan NTT. Masih alami dan polos.
Kekayaan yang tetap terjaga dan asli ini adalah hasil dari kearifan lokal masyarakat setempat yang tidak serakah. Ketertarikan orang luar terutama orang asing terhadap NTT khususnya labuan bajo, merupakan kebanggan tapi sekaligus sebuah ancaman.
Mengaba bisa menjadi ancaman? Hal ini akan menjadi ancaman ketika ketertarikan orang-orang asing ini berlanjut dengan penanaman modal yang tidak dibarengi dengan kebijaksanaan pemerintah yang tidak memikirkan rakyatnya. Penanaman modal tidak dibatasi dan akhirnya masyarakat lokal yang menjadi korbannya. Ketika pihak asing mendapat akses membuka usaha tanpa batasan yang jelas dan tegas dari pemerintah, bisa-bisa hal ini dapat mematikan usaha masyarakat lokal. Mereka akhirnya hanya bisa menjadi pesuruh para pemilik modal di tanah kelahirannya sendiri. Kita terjajah dua kali berarti.
Tapi sekali lagi ini hanyalah kekhawatiran penulis semata. Semoga keberadaan event ini dapat memberikan keuntungan jangka panjang bagi masyarakat lokal, dan memang itulah yang seharusnya terjadi. Serta dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang tetap menjunjung tinggi kesejahteraab masyarakatnya sebagai tujuan utama.
Semoga keaslian tempat-tempat wisata di NTT tetap terjaga tanpa harus tersentuh dengan pembangunan yang justru merusak. Meskipun pembangunan-pembangunan itu berkedok untuk menarik minat wisatawan, tapi tetap saja, keaslian harus dinomorsatukan. Maksud penulis disini bahwa sejatinya pemerintah yang bijaksana dan peduli rakyat adalah pemerintah yang tau membedakan mana yang harus dirubah dan mana yang harus dipertahankan dengan tetap menjunjung tujuan utama tadi, kesejahteraan masyarakatnya. Biar bagaimanapun, perubahan itu perlu, tapi keaslian tetap yang utama.

Minggu, 14 Juli 2013

Kejutan

Hari ini ulang tahun ku.
aku genap berusia 21 tahun.
aku tak butuh kejutan karena hidupku sudah terlalu banyak kejutan
aku punya orang tua yang mengejutkan
seorang kakak dan seorang adik yang mengejutkan
teman-teman yang mengejutkan
kerabat yang mengejutkan
dan terakhir,
seorang pacar yang jarang memberikan kejutan namun keberadaannya disampingku selalu menciptakan cerita mengejutkan yang baru.
hari ini tidak ada yang memberikan kejutan
Nino mempersiapkan kejutan, tapi sayangnya tidak terlalu mengejutkan
tapi aku tetap terkejut,
banyak yang sayang dan perduli kepadaku
mereka semua adalah kejutan
lebih tepatnya kejutan bahagia
hidup memang penuh kejutan,
mereka itu kejutan
ini tentang terkejut, dikejutkan, dan kejutan
Terimakasih untuk semua kejutan ini Tuhan
just keep giving me surprise.
jaga mereka untuk selalu berada disekitarku
aku butuh kejutan, mereka.
aku sayang mereka, kejutanku :)


Selasa, 30 April 2013

Beda-Beda


Karena semua orang punya metode, tolak ukur kenyamanan, pemikiran, pendapat, dan pengalaman yang berbeda-beda. Mungkin ada yang merasa metode “the power of kepepet” lebih menguntungkan dirinya daripada metode  preparation yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum deadline. Dan sebaliknya.



Kita sama sekali tidak berhak menjudge metode siapa atau bagaimana yang paling bagus. Semuanya tergantung pada hasil akhir. Tidak peduli sebagus atau seburuk apapun metode kamu, ketika hasilnya bagus, berarti kerja kamu bagus. That’s it. 

Senin, 29 April 2013

Kota Kupang dan Sinetron Si Doel


Hari ini saya menonton sinetron paling berkualitas yang mungkin pernah dimiliki Indonesia, Si Doel. Buat saya pribadi, ini adlah sinetron yang benar-benar “real” dan tidak “lebay” seperti sinetron-sinetron sekarang. Alur ceritanya masuk akal dan setting suasana perkampungan, rumah khas betawi, dialek para pemain dengan kepolosannya masing-masing yang sangat nyata dan membuat kesan romantis setiap kali menonton kembali sinetron ini.
Ada satu hal menarik yang saya temukan pada episode si doel siang ini. Ketika sarah dan doel sedang bercakap-cakap mengenai Jakarta dan orang betawi. Sarah yang ceritanya waktu itu baru pulang daru luar negeri lalu kemudian berkunjung ke rumah si Doel mengutarakan kerinduannya dengan suasana rumah Doel yang sangat tenang dan asli. Tapi doel dengan gayanya yang khas, membalas ungkapan kerinduan sarah dengan pesimistis mengenai keberadaan orang-orang betawi yang mungkin di masa depan nanti terpaksa dipinggirkan oleh perkembangan zaman. Dia sepertinya sudah bisa mengira-ngira apa yang akan terjadi di masa depan. Ketika kampungnya yang asri dan rindang mungkin bisa hampir musnah tergantikan real estate dan gedung-gedung mewah hasil kerja para investor. Dia juga mengatakan sedikit kesedihan mengapa Jakarta yang menjadi Ibukota Indonesia dan bukan daerah-daerah lain.
Dari episode siang ini, saya terkesan dengan ide cerita sang sutradara dalam menyampaikan pesan moralnya. Mungkin apa yang dikatakan Dul kepada Sarah adalah salah satu bentuk antisipasi yang sayangnya tidak terlalu direken dan berakhir seperti yang kita lihat sekarang ini, terlebih dengan kesedihan si Doel mengenai Jakarta yang harus menjadi Ibukota. Hal ini membuat saya sadar bahwa sebenarnya orang-orang betawi sudah secara tidak langsung mengorbankan kampung halaman mereka untuk menjadi ibukota dan berakhir dengan padatnya gedung-gedung besar yang membuat mereka; bisa dibilang hampir tersingkirkan. 
Pemikiran seperti ini lalu mengantar saya kepada kesimpulan mengenai kampung halaman saya Kota Kupang. Ketika menginjak kota-kota besar dan menyaksikan perkembangan yang terjadi didalamnya, ada semacam keinginan untuk menjadikan kampung halaman sama majunya seperti kota-kota besar ini. Dengan gedung-gedung bagus dan tinggi. Tapi setelah melihat episode ini, muncul kekhawatiran akan kehilangan seperti yang dirasakan masyarakat betawi sekarang. Kalau kota Kupang menjadi kota besar, mungkin saja lokasi-lokasi romatis masa lalu malah tergantikan dengan gedung-gedung besar yang malah tidak memberikan akses kepada masyarakat asli itu sendiri.



Menyaksikan kondisi kota kupang sekarang, kekhawatiran ini saya rasa juga bisa diperhitungkan. Melihat perkembangannya yang semakin dipenuhi dengan hotel-hotel disepanjang pesisir pantai yang dulunya adalah tempat hiburan bagi masyarakat di sore hari. Memang belum sebagian besar yang dibangun hotel. Namun tidak tertutup kemungkinan apabila suatu saat nanti justru malah dipenuhi dengan hotel dan tidak ada lagi akses hiburan khususnya ke pantai yang Gratis karena semuanya sudah dipenuhi dengan hotel dan bangunan-bangunan besar lainnya.
Menyikapi kekhawatiran ini, saya pribadi hanya bisa berharap semoga kedepan Kota Kupang bisa berkembang menjadi Kota yang maju dengan mempertahankan segala asset dan budaya yang memang seharusnya dipertahankan. Mengenai pembangunan, tidak dapat disangkal bahwa hal itu perlu. Namun yang lebih penting dari itu adalah hendaknya segala pembangunan itu berlandaskan kesejahteraan masyarakat Kota Kupang dan bukan pihak lain. Selain itu, semoga kedepannya akan ada kesadaran dari warga kota kupang sendiri mengenai kekhasan Kota Kupang yang unik dan tidak perlu digantikan dengan hal-hal yang menunjukkan kemajuan yang sebenarnya tidak begitu penting untuk mereka. Akan sangat menyenangkan apabila Kota Kupang tetap menjadi kota karang yang asli dengan masyarakatnya yang berpikiran cerdas. Karena orang yang cerdas tau dengan pasti, apa yang harus mereka pertahankan dan apa yang harus dirubah demi kepentingan bersama. 

Minggu, 21 April 2013

Social media dan Era Pencitraan


Karena pada akhirnya, social media berpengaruh pada segala aspek. Salah satunya pencitraan. Sekarang ini adalah era social media.  Khususnya untuk orang Indonesia, hampir sebagian besar masyarakatnya pasti punya akun-akun di setiap social media yang sedang “In” saat ini. Lebih spesifik lagi kaum muda. Sudah menjadi hal yang sangat penting untuk anak muda sekarang untuk memiliki akun di social-social media tersebut. Sebut saja facebook, twitter, Instagram, Tumblr, Line, Whatsap, Line, WeChat, dan sejenisnya. Sampai kepada kebutuhan membeli perangkat komunikasi saja, hal-hal ini menjadi salah satu pertimbangan untuk membelinya. Umumnya saat ini, handphone-handphone yang memeberikan fasilitas untuk mengakses social media di atas lah yang paling laris.
Berangkat dari masalah ini, muncullah fenomena baru yaitu Kebutuhan anak muda sekarang yang kebanyakan adalah kebutuhan untuk membuat “pencitraan”. Kegiatan dalam rangka mendapatkan pengakuan dari sosial, kebanyakan tak lagi dari partisipasi mereka terhadap sosial namun dari apa yang mereka miliki dan mereka tunjukkan lewat social media. Ujung-ujungnya, Menjadi sangat penting untuk memiliki benda-benda yang “bernama” tanpa memikirkan kebutuhan benda itu sendiri apakah penting atau tidak. Karena pada akhirnya, semua yang dikonsumsi adalah “prestigenya” bukan “kegunaannya”.
Sekarang semuanya kembali pada kita masing-masing. semuanya tidak salah, hanya menurut saya pribadi, hal seperti itu masih kurang begitu bijaksana ditambah dengan biaya yang tidak sedikit dalam proses pemenuhan keinginan semacam itu. Tapi semuanya kembali kepada pribadi masing-masing. mungkin memang ada yang merasa puas dan memang mampu untuk memfasilitasi kepuasan seperti itu. tapi mungkin ada yang punya cara sendiri untuk mendapatkan pengakuan dari sosial alias anti mainstream. Hidup ini pilihan. Pertimbangkan dan jadi dirimu sendiri J




Selasa, 09 April 2013

KORSA dan Melindungi


Saya juga pernah diajarkan jiwa korsa ketika bergabung dengan pasukan pengibar bendera merah putih semasa SMA. Diajarkan mengenai kebersamaan dan persaudaraan yang tinggi.  
Mungkin memang jiwa korsa yang dimiliki para anggota KOPASSUS itu sangat kuat. Begitu kuatnya hingga membunuh rakyat sipil demi jiwa korsa kepada sesama anggota KOPASSUS.
Ketika malam ini saya mendengar statement dari salah seorang mantan pangdam kopasus diponegoro yang mengatakan bahwa anggota mati demi komandan, begitu pula komandan mati demi anggotanya.  Ini adalah pernyataan  yang secara tidak langsung menjelaskan bahwa itulah salah satu bentuk dari jiwa korsa yang dimiliki KOPASUS. Betapa kuatnya jiwa korsa yang mereka miliki, hingga matipun mereka tak takut, demi jiwa KORSA.
Yang menjadi pertanyaan saya pribadi, apa sebenarnya yang menjadi alasan sehingga pada zaman dahulu dibentuk pasukan yang bernama KOPASUS?
Mereka bilang untuk melindungi ketahanan Negara.
Negara yang notabene ada unsur “Rakyat” didalamnya.
Sekarang, ketika demi jiwa korsa mereka tega membunuh “Rakyat Sipil” ??
Lalu siapa sebenarnya yang mereka lindungi? Rakyat kah? Atau sesama anggotanya ??

hanya bisa berdoa,
semoga semuanya akan baik-baik saja


Selasa, 26 Maret 2013

Tentang Ketertiban


Inilah yang terjadi di depan ruangan SAC Universitas Sanata Dharma. Sepatu-sepatu berserakan dilantai dengan rak sepatu persis di depan pintu dan terisi hanya beberapa sepatu.
SAC merupakan ruangan khusus bagi mahasiswa untuk memeperoleh akses informasi yang menyangkut kegiatan perkuliahan. Dia dalam ruangan SAC tersedia beberapa unit computer dengan akses internet yang cepat, kumpulan video-video film-film klasik yang bagus beserta TV dan videoplayer untuk memutar film itu, Wi-fi, Televisi dengan tayangan-tayangan dari luar negeri, dan sofa untuk para mahasiswa yang mungkin hanya ingin sekedar bersantai menunggu kelas.
Semua mahasiswa sanata dharma bisa menjadi anggota SAC. Cukup membayar lima ribu rupiah untuk mengurus kartu anggota, lalu setelah itu dia bisa kapan saja datang dan menikamti segala fasilitas SAC yang dibuka dari jam tujuh pagi hingga pukul 5 sore.
Dalam tulisan ini saya hanya ingin sedikit berkomentar mengenai para pengguna atau anggota SAC yang seluruhnya merupakan mahasiswa, yang notabene merupakan orang terpelajar.
Cukup ironis melihat hal ini, betapa ketertiban kadang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan sering diabaikan. Bagaimana rak sepatu itu kosong, karena mahasiswa lebih memilih meninggalkan sepatunya secara sembarangan daripada meletakkannya secara rapi di rak sepatu yang dusah disediakan.
Mungkin ini hal sepele, tapi jelas sekali menunjukkan betapa mahasiswa, orang yang dikenal “Terpelajar” menjadi sedikit sombong untuk memperhatikan hal kecil ini. 

Rabu, 20 Maret 2013

Random Bahagia

Sedikit tulisan mengenai kebahagiaan yang muncul karena berhasil memunculkan kepercayaan diri kalau kamu bisa kalau mau berusaha.
semacam tulisan random yang tiba-tiba muncul dalam kepala, ketika kenyataan membuat bahagia.
Terimakasih kepada Tuhan karena pelan-pelan dengan caranya mengantar kepada sebuah pembuktian kalau  kamu mampu.
kemampuan yang ayahmu dan orang terdekat mendukung dan mungkin saja bangga dengan caranya sendiri-sendiri.
ketika bukti dan alasan untuk percaya diri sudah ada di depan mata,
kemudian sekarang lah saatnya  untuk pelan-pelan terus melakukannya,
biar kamu bisa puas dan bahagia
biar mereka juga puas dan bahagia
biar kamu punya tujuan
sekarang tinggal mengatur waktu dan konsisten


Senin, 18 Maret 2013

Understanding “Live in Myths” by Ellen Goodman


Understanding “Live in Myths” by Ellen Goodman

 The essay by Ellen Goodman “Live in Myths” is actually about the people’s tendency to live in their own myths. For example, the author uses her friend as an example. Her friend is living in her myths that she has a husband who are not really cranky but in fact he is cranky, a husband who really, deep down, very generous, but in fact he is not. The authors’ friend is living in her really good expectation or we can say a good concept about the image of her husband. She chooses to stick with the image of her husband (he is really…..)  That she built by herself because she believes and want her husband to be like that. This essay is more about the result of the author’s observation about human nature when they describe what the other person is really like, they often picture what they want or illusion about others and they are afraid “if they let go the illusions, they will not like each other” (Ellen).
About the diction, it is refers to the author’s choice of word. Diction creates the color and texture of the written work; they both reflect and determine the level of formality; they shape the reader’s perceptions. (Tata, ppt read4_meet3). As we can see in this essay, the author uses some words to focusing in shape the reader’s perception about the issue that she wants to bring in this essay. For example, the author used the word “Erratic” which followed by the word “outbursts” to explain about the character of her friend’s husband. The author uses these words to makes clear about the real quality of the husband which denied by the wife. And in this case, the author also uses the word “Really” to explain the habit of the wife, where she is always stick with the concept or image of her husband and ignored the “real” quality of his husband because there is a “bound to be let down” thing.
Still talking about the diction, when we were asked to analyzing the diction, there are some questions to guide us to analyze that. Starts from is the language concrete or abstract? Do the words have interesting connotations? Is the diction formal or colloquial? Is there any change in the level of diction in the passage?  And what can the reader infer about the speaker or the speaker’s attitude from the word choice? (Tata, ppt read4_meet3). And for analyzing Ellen’s essay, I will use some questions. First, do the words have interesting connotations? And the answer is yes. We can see, in here, Ellen use the word “Really”, at paragraph 11, “I know many other people who live with their ideas of each other. Not with a real person but a “Really”.  In here we can see clearly that behind this word, the author wants the reader to understand about a feeling or idea that is suggested by this word which is said that many other people who live with their ideas of each other, stick with this idea by saying this person is really blablabla or this person is not really blablabla by ignored the real quality of this or that person that they were talking about. They are stuck with this image of the person that they built by themselves and when they ignored the Real fact or the illusions, they afraid it will makes them not like each other, “bound to be let down” (Last Paragraph).  
In my understanding, the diction “Really” that used by the author is an abstract diction. “Abstract diction refers to words that do not appeal imaginatively to the reader's senses. Abstract words create no "mental picture" or any other imagined sensations for readers.” (Tata, ppt read4_meet3). In this essay the word “really” is totally not appealed our imaginative sense or create no mental picture in our mind. We just directly understanding the purpose of the author by used the word “really” to describe the human  nature, about human effort go into maintaining the “really”.
In this essay, as I said before, the authors’ purpose by writing this essay is inform us the readers about human nature who lives in “really” but not “real”. Showing by some statements, for example, “-Live with their ideas of each other. Not with a real person but with ‘Really’, (par.11) ”They develop an idea about the other person and spend a lifetime trying to make him or her live up to that idea”, (par.11), “But when we describe what the other person is really like, I suppose we often picture what we want”(par.13), “we often refuse to see what we might not be able to live with”(par.17), “-about how much human effort can go into maintaining the “really”. How much daily energy that might have gone understanding the reality --accepting it or rejecting it.”(par.18). from those statements above, we can conclude that the purpose is all at once to inform and criticize about this tendency of people, to not live in myths which represent by the word “really”.
It seems like the author wants to say that we must brave to face the reality. In this case is about creating the image, picture, or illusions of somebody. We should not create that because we want them to be like that, but because the reality says that they are like that. We cannot live under the expectation about others that we create because we are “bound to be let down”. 
And the last is about the significance of the tittle to the content of the essay. In here the author pick “Live in Myths” as the tittle. I was explained about this before. The content of this essay is about the tendency of people to live under the image or illusion about others because they want or expected others to be like that. And Ellen uses her friend as an example. The authors’ friend is living in her really good expectation or we can say a good concept about the image of her husband. She chooses to stick with the image of her husband (he is really or he is not really…..). Further we draw this to the relation with tittle used by the author “live in myths”. Meaning to say that people tend to lives in their “really” which is not real are just the same with “live in myts”.

Selasa, 05 Maret 2013

Barbie Doll


Barbie Doll
By: Margie Percy

This Girlchild was born as usual
And presented dolls that did pee-pee
And miniature GE stoves and irons
And wee lipsticks the color of cherry candy
Then in the magic of puberty, a classmate said:
You have a big nose and fat legs

She was healthy, tested intelligent,
Possessed strong arms and back,
Abundant sexual drive and manual dexterity
She went to and fro apologizing
Everyone saw a fat nose on thick legs

She was advised to play coy, exhorted to come on hearty,
Exercise, diet, smile and wheedle
Her good nature wore out
Like a fan belt
So she cut off her nose and her legs
And offered them up

In the casket displayed on satin she lay
With the undertaker’s cosmetics paint on,
A turned-up putty nose,
Dressed in a pink and white nightie
Doesn’t she look pretty? Everyone said
Consummation at last,
To every woman happy ending

Sepenggalan cerita di atas adalah cerita yang saya dapat di kelas reading hari ini. Sengaja saya tuliskan di blog karena menurut saya ini adalah cerita yang menggambarkan realita di kehidupan jaman sekarang, konsep kecantikan yang ironis.

Cerita Barbie Doll karangan Marge Piercy ini bercerita tentang seorang gadis yang dilahirkan biasa saja, sama seperti anak perempuan yang dimasa kecilnya mempunyai banyak mainan seperti boneka, perlengkapan alat masak, dan hal-hal lainnya yang menyenangkan untuk ukuran seorang gadis kecil. lalu seiring dengan berjalannya waktu, masa pubertas datang, lalu sang gadis cilik menjadi remaja dan mulai merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis.

Kemudian hanya karena omongan seorang teman, “a classmate said you have a big nose and fat legs” (par.4).  sang gadis mulai dihadapkan dengan masalah klasik remaja putri, ‘tampil cantik’. Padahal di dalam cerita ini, sang gadis adalah seorang anak yang sehat, tangkas, cerdas, dan punya fisik yang baik. Namun hanya karena omongan seorang teman, dia menjadi resah dan mulai meminta maaf karena merasa kurang sempurna. Padahal mungkin saja apa yang dikatakan temannya itu tidak sepenuhnya benar. Namun semuanya percuma, semua orang tetap melihat dia sebagai seorang gadis berhidung besar dan berlengan besar.

Ditambah lagi dengan lingkungan social yang memberi saran untuk melakukan perubahan apabila kamu tidak suka dengan keadaan fisikmu sekarang, sang gadis lalu melalukan diet, dan segala latihan untuk membuat penampilannya menjadi lebih cantik lagi.

HIngga suatu hari dia merasa jenuh dan lelah dengan semua proses itu, lalu mengambil jalan pintas dengan melakukan operasi plastik pada hidung dan lengannya yang berhasil dengan baik namun berakhir tragis dengan kematian. Bisa  kita baca pada paragraph terakhir, sang gadis berakhir dengan terbaring di dalam peti, dengan gaun, make up dan wajah yang begitu sempurna cantiknya, selayaknya boneka barbie.


Sepenggalan cerita ini ingin menyampaikan betapa ironisnya konsep kecantikan di jaman ini yang membuat para wanita berlomba-lomba melakukan hal apa saja yang bisa membuat dirinya terlihat 
cantik meskipun hal itu sangat beresiko.

Dengan menggunakan judul “Barbie Doll”, sang penulis ingin menggambarkan semacam kesuksesan ironis yang dimiliki sang gadis. Seperti yang sudah kita tahu, boneka Barbie seringkali menjadi simbol dari kecantikan yang sempurna. Banyak wanita yang berusaha sebisa mungkin untuk menjadi cantik layaknya boneka Barbie. Namun seperti yang kita tahu, boneka Barbie adalah sebuah benda mati. Sama seperti sang gadis, dia berhasil menjadi cantik sama seperti Barbie, dan berakhir di dalam kotak. Boneka Barbie benda mati yang dipajang di dalam kotak Dan sang gadis yang berbaring sama di dalam kotak, peti mati. Keduanya sama-sama cantik, dan mati.

Kesimpulan dari cerita ini adalah agar kita menyadari tentang hal ironis seperti ini yang sering dianggap normal oleh orang-orang, namun sebenarnya hal yang terlihat normal ini merupakan sudah menjadi semacam “invisible pressure” yang dihadapi para wanita saat ini. kebutuhan untuk tampil cantik kadang membuat mereka bertindak diluar akal sehat. Operasi plastik, mengeluarkan banyak biaya hanya -untuk kosmetik, baju, salon,  dan hal-hal lainnya. Bukan berarti ini salah, namun tindakan seperti ini terlihat kurang bijaksana untuk dilakukan dalam kaitannya dengan ingin menjadi cantik atau ingin terlihat cantik. Menjadi cantik tidak seharusnya menyakitkan.
Tampil cantik memang perlu, tapi menjadi rasional dalam mempercantik diri juga perlu. Inner beauty akan lebih terpancar ketika seorang wanita bisa percaya diri dengan kondisi fisiknya sendiri dan tidak memaksakan diri untuk terlihat cantik. Be beauty as you are :) 


Rabu, 27 Februari 2013

Ibu, Gaya Hidup dan Teknologi


Ada hal miris yang saya temui hari ini menyangkut hubungan seorang ibu dengan anaknya, teknologi, dan gaya hidup. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain dan berujung pada kejadian yang cukup ironis.

Pertama, ketika sore ini saya dan pasangan saya sedang mengerjakan tugas kuliah di sebuah kafe, kami bertemu dengan seorang ibu muda yang merokok di depan anaknya yang masih sangat kecil. Entah karena gaya hidup yang mungkin membuat persepsi merokok itu sebagai sesuatu yang  keren. Atau memang sang ibu merasa terpuaskan dengan merokok, lalu dengan egois menikmati rokoknya tanpa peduli dengan kesehatan dan mental anaknya. Inilah yang saya maksud dengan ironis. Betapa mirisnya, hanya karena gaya hidupnya sebagai seorang ibu muda yang terbiasa merokok sejak lama, lalu menjadi egois dan tidak bertanggung jawab seperti itu. Mungkin dia merasa biasa saja, namun ketika dipikir lebih dalam lagi, kebiasaan seperti ini jelas tidak hanya merugikan dirinya, namun merugikan kesehatan anaknya karena sejak kecil sudah diracuni oleh asap rokok bukan dari orang lain melainkan ibunya sendiri. selain itu, dengan kebiasaan seperti itu, dia juga perlahan membentuk mental anaknya untuk melihat kegiatan merokok sebagai suatu hal yang biasa saja. Sehingga di masa depan nanti ketika anaknya dewasa, mungkin sang anak akan mengikuti jejak ibunya sebagai perokok.




Tidak berhenti disitu, ada satu lagi kejadian yang kali ini bersangkutan dengan teknologi. Di tempat makan, kami bertemu lagi dengan seorang ibu yang sedang menemani anaknya makan malam. Seperti biasanya setelah makan,  orang-orang terbiasa duduk-duduk sebentar sambil bercerita. Kejadian ini menjadi miris ketika sang anak dengan antusiasnya bercerita, dan diabaikan oleh ibunya sendiri yang sibuk dengan tablet dan smartphone pada masing-masing tangannya. Mungkin saat itu dia juga ikut mendengarkan cerita anaknya, tapi ketika sang anak bercerita, lalu orangtua tidak memberikan perhatian seutuhnya? Dimana penghargaan terhadap sang anak? Padahal yang sedang sang ibu lakukan dengan tabletnya adalah bermain game. Inilah salah satu hasil dari hipnotis teknologi. Orang-orang semakin tidak perduli dengan kualitas berbicara langsung dan tatap muka, ketimbang sms-an dan sejenisnya. Sang ibu tidak sadar dengan apa yang dilakukannya itu secara tidak langsung memberikan makna “Benar” ketika suatu saat nanti dia berbicara kepada sang anak dan si anak mengabaikannya.



Kejadian diatas hanya sebagian kecil dari begitu banyaknya hal-hal yang mungkin lebih ironis, yang merupakan akibat dari semakin cepatnya arus globalisasi masuk dan dihadapi oleh orang-orang yang kurang bijaksana dan bisa dikatakan belum siap. Kita memang bebas untuk memilih gaya hidup seperti apa yang kita inginkan. Namun, ketika hal itu  menyangkut  orang lain, mungkin kita bisa sedikit menurunkan ego dan mulai memikirkan untuk menggunakan kebebasan tanpa merugikan orang lain. Begitu juga dengan teknologi. Banyak hal positif yang kita peroleh dari kemajuan teknologi. Semua pekerjaan dan komunikasi menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Namun kemajuan seperti ini juga harus ditanggapi dengan bijaksana. Ada saat ketika kita memang harus berhadapan dengan benda-benda itu, namun jangan sampai diperbudak itu lalu kemudian menjadi lupa dengan keberadaan orang lain. Penghargaan terhadap orang lain itu sangat penting. Tidak peduli siapa orang lain itu. 

Senin, 25 Februari 2013

Tulisan Pertama

Sebagai tulisan pertama di Blog yang entah sudah kesekian kalinya saya buat dan sering terlupakan. Semoga ini menjadi blog terakhir yang saya bisa benar-benar serius untuk menulis sesuatu yang menurut saya cukup penting dan mungkin saja berguna entah untuk siapa saja.
Tulisan-tulisan yang kedepannya akan muncul di blog ini adalah seutuhnya opini saya. Setuju atau tidak, saya hanya ingin menulis apa yang saya lihat dan pendapat saya mengenai hal itu. Dengan harapan, ini bisa menjadi salah satu media untuk bertukar pikiran dan mengasah kemampuan menulis yang mungkin saja selama ini terkubur dalam-dalam karena malas. iya, malas itu menjerumuskan. Sekian :)