Hari ini saya menonton sinetron paling
berkualitas yang mungkin pernah dimiliki Indonesia, Si Doel. Buat saya pribadi,
ini adlah sinetron yang benar-benar “real” dan tidak “lebay” seperti
sinetron-sinetron sekarang. Alur ceritanya masuk akal dan setting suasana
perkampungan, rumah khas betawi, dialek para pemain dengan kepolosannya
masing-masing yang sangat nyata dan membuat kesan romantis setiap kali menonton
kembali sinetron ini.
Ada satu hal menarik yang saya temukan pada
episode si doel siang ini. Ketika sarah dan doel sedang bercakap-cakap mengenai
Jakarta dan orang betawi. Sarah yang ceritanya waktu itu baru pulang daru luar
negeri lalu kemudian berkunjung ke rumah si Doel mengutarakan kerinduannya
dengan suasana rumah Doel yang sangat tenang dan asli. Tapi doel dengan gayanya
yang khas, membalas ungkapan kerinduan sarah dengan pesimistis mengenai keberadaan
orang-orang betawi yang mungkin di masa depan nanti terpaksa dipinggirkan oleh
perkembangan zaman. Dia sepertinya sudah bisa mengira-ngira apa yang akan
terjadi di masa depan. Ketika kampungnya yang asri dan rindang mungkin bisa hampir
musnah tergantikan real estate dan gedung-gedung mewah hasil kerja para
investor. Dia juga mengatakan sedikit kesedihan mengapa Jakarta yang menjadi
Ibukota Indonesia dan bukan daerah-daerah lain.
Dari episode siang ini, saya terkesan
dengan ide cerita sang sutradara dalam menyampaikan pesan moralnya. Mungkin apa
yang dikatakan Dul kepada Sarah adalah salah satu bentuk antisipasi yang
sayangnya tidak terlalu direken dan berakhir seperti yang kita lihat sekarang
ini, terlebih dengan kesedihan si Doel mengenai Jakarta yang harus menjadi
Ibukota. Hal ini membuat saya sadar bahwa sebenarnya orang-orang betawi sudah
secara tidak langsung mengorbankan kampung halaman mereka untuk menjadi ibukota
dan berakhir dengan padatnya gedung-gedung besar yang membuat mereka; bisa
dibilang hampir tersingkirkan.
Pemikiran seperti ini lalu mengantar saya
kepada kesimpulan mengenai kampung halaman saya Kota Kupang. Ketika menginjak
kota-kota besar dan menyaksikan perkembangan yang terjadi didalamnya, ada
semacam keinginan untuk menjadikan kampung halaman sama majunya seperti
kota-kota besar ini. Dengan gedung-gedung bagus dan tinggi. Tapi setelah
melihat episode ini, muncul kekhawatiran akan kehilangan seperti yang dirasakan
masyarakat betawi sekarang. Kalau kota Kupang menjadi kota besar, mungkin saja
lokasi-lokasi romatis masa lalu malah tergantikan dengan gedung-gedung besar
yang malah tidak memberikan akses kepada masyarakat asli itu sendiri.
Menyaksikan kondisi kota kupang sekarang, kekhawatiran
ini saya rasa juga bisa diperhitungkan. Melihat perkembangannya yang semakin
dipenuhi dengan hotel-hotel disepanjang pesisir pantai yang dulunya adalah
tempat hiburan bagi masyarakat di sore hari. Memang belum sebagian besar yang
dibangun hotel. Namun tidak tertutup kemungkinan apabila suatu saat nanti
justru malah dipenuhi dengan hotel dan tidak ada lagi akses hiburan khususnya
ke pantai yang Gratis karena semuanya sudah dipenuhi dengan hotel dan
bangunan-bangunan besar lainnya.
Menyikapi kekhawatiran ini, saya pribadi
hanya bisa berharap semoga kedepan Kota Kupang bisa berkembang menjadi Kota
yang maju dengan mempertahankan segala asset dan budaya yang memang seharusnya
dipertahankan. Mengenai pembangunan, tidak dapat disangkal bahwa hal itu perlu.
Namun yang lebih penting dari itu adalah hendaknya segala pembangunan itu
berlandaskan kesejahteraan masyarakat Kota Kupang dan bukan pihak lain. Selain itu,
semoga kedepannya akan ada kesadaran dari warga kota kupang sendiri mengenai
kekhasan Kota Kupang yang unik dan tidak perlu digantikan dengan hal-hal yang
menunjukkan kemajuan yang sebenarnya tidak begitu penting untuk mereka. Akan sangat
menyenangkan apabila Kota Kupang tetap menjadi kota karang yang asli dengan
masyarakatnya yang berpikiran cerdas. Karena orang yang cerdas tau dengan
pasti, apa yang harus mereka pertahankan dan apa yang harus dirubah demi
kepentingan bersama.